Selasa, 17 Juni 2008

Tulisan yang dimuat dimedia

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Bukan Untuk Rakyat. Dimuat di Majalah INSPIRASI Media Informasi dan Komunikasi Edisi Agustus 2005, terbitkan oleh Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT).

UU TINDAK PIDANA KORUPSI BUKAN UNTUK RAKYAT


Regim orde baru telah mewariskan kemiskinan, kebodohan bagi rakyat. Secara sistematik Orde baru juga telah mewariskan sistem politik yang tidak demokratis, sistem ekonomi yang memiskin rakyat dan sistem hukum yang korup dan penuh dengan kecurangan yang dilakukan oleh Penegak hukum. Warisan orde baru yang kemudian menjadi jargon bagi penerus kekuasaannya untuk melegitimasi kekuasaannya pada rakyat adalah Pemberantasan Korupsi.

Tumbangnya icon regim orde baru ternyata tidak membuat sistem yang dibangunnya ikut tumbang. Hal tersebut terjadi karena mesin politik yang mendukungnya yaitu Partai Golkar dan Tentara masih bercokol dalam sistem politik, dan ekonomi Indonesia. Namun untuk mengkamuflase tindakan politik yang salah pada masa lalu, kemudian mereka keluar dari partai golkar atau menjadi tentara yang reformis dengan cara membentuk partai-partai baru atau masuk ke partai lama yang pada dasarnya karakter orde barunya tidak dapat hilang.

Salah satu karakter orde baru yaitu karakter Korup atau tindakan korupsi. Pada masa orde baru korupsi terjadi sebagian besar di level atas. Dan sebagian besar lagi terjadi pusat kekuasaan pemerintahan. Dengan tumbangnya Soeharto maka diharapkan korupsi bisa diberantas, namun ternyata harapan tersebut tidak menjadi kenyataan. Korupsi sampai saat ini terus merajalela, bahkan sampai ke aparat pemerintahan yang terkecil. Bahkan lebih parah lagi lembaga-lembaga agama juga terkontaminasi tindakan korupsi. 

Untuk mengelabui tindakan korupsi orde baru, kemudian regim orde baru mengeluarkan UU No. 7 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dikeluarkannya UU ini tidak lebih untuk menjawab tuntutan Negara-negara pemberi Hutang. Apalagi pada masa tahun 1970 an regim orde baru sangat gencar-gencarnya melakukan pembangunan dengan pembiayaan dari pinjaman dari lembaga donor seperti CGI, IMF,Bank Dunia. Namun karakter korupsi dari regim orde baru berupa tindakan korupsi tetap berjalan sampai tumbangnya tumbang orde baru. Namun warisan korupsi terus berlangsung.

Pasca tumbangnya regim orde baru, kemudian harapan untuk pemberantasan korupsi lebih terbuka. Hal tersebut dibuktikan dengan merevisi UU No. 7 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian direvisi atau diubah menjadi UU No. 20 tahun 2001. UU tentang pemberantasan Korupsi secara substansi diharapkan mampu melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Memang pemberantasan korupsi dilakukan apalagi pada saat ini, Pembarantasan Korupsi menjadi program SBY – KALLA. Namun yang menjadi pertanyaan karena pemberantasan korupsi hanya dilakukan pada pejabat-pejabat pada level-level tertentu, atau pada kelompok yang secara politik dan ekonomi sangatlah lemah dan pemain baru di Indonesia. Misalnya saja kasus yang paling anyar adalah pengungkapan kasus tindak pidana korupsi anggota Dewan di tingkat Kabupaten, Gubernur Aceh,Gubernur Kaltim dan KPU. UU pemberantasan anti korupsi dan pergantian 4 kali regim pasca tumbangnya orde baru, belum mampu menyentuh mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya atau dengan kata lain regim berganti koruptor kelas kakap tetap tidak tersentuh. 

Ini membuktikan bahwa UU pembarantasan korupsi yang dihasilkan oleh Regim orde baru dan pasca regim orde baru ternyata hanya berlaku bagi kelompok atau perorangan yang lemah secara politik dan ekonomi dalam pertarungan merebut kekuasaan di negeri ini. UU pemberantasan korupsi secara substansi tidak berpihak pada rakyat. Ancaman hukuman tindak pidana korupsi minimal satu tahun. Ancaman hukuman tersebut sebenarnya hanya untuk tindak pidana ringan atau tipiring. Memang pada pasal 2 ayat UU No. 31 tahun 1999 ada ancaman hukuman mati tetapi masih dimungkinkan karena dalam pasal tersebut ada pilihan ancaman lain. Artinya secara tegas substansi dari pasal-pasal UU tindak pidana korupsi masih memberikan peluang untuk hukuman minimal.

Ini jelas menggambarkan bahwa UU Tindak pidana korupsi secara substansi tidak memiliki sensifitas untuk memberantas korupsi sampai keakar-akarnya. Ancaman dalam Hukum Pidana tidak memberikan peluang untuk hukuman minimal, artinya Ancaman dalam KUHPidana lebih tegas.  

Untuk lebih jelas pengertian korupsi dalam UU Tindak Pidana Korupsi yaitu ;
• Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 
• Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Dalam pengertian ini merugikan negara berarti merugikan rakyat. Secara jelas bahwa yang mampu melakukan korupsi adalah orang per orang atau korporasi yang menguasai atau setidak-tidaknya memiliki akses terhadap keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini pejabat negara atau pengusaha yang dekat dengan penguasa. Nah disini secara jelas mereka diberi akses untuk mengelola keuangan dan perekonomian rakyat. Jika kemudian terjadi tindakan korupsi maka secara jelas tindakan tersebut merugikan negara dan merugikan rakyat secara substansi. 
Orang per orang atau pejabat jelas diberikan fasilitas yang berlebih. Gaji, akomodasi tinggal kendaraan dan lain-lain yang memudahkan tugas-tugasnya. Tentunya dengan fasilitas yang melebihi masyarakat lainnya tentunya diharapkan tidak terjadi lagi tindak pidana korupsi. Tetapi ternyata harapan tersebut tinggal harapan belaka,malah makin besar akses keuangan dan perekonomian seorang pejabat maka makin tinggi pula tingkat korupsi. Jadi untuk hal tersebut tidaklah perlu diberikan ancaman hukuman minimal dan pilihan ancaman hukuman dalam UU Pidana korupsi. 
Seharusnya dalam ancaman hukuman untuk tindak pidana korupsi yang diberikan sesuai dengan jabatan dan tindakannya. Artinya makin besar akses perekonomian dan keuangan negara dalam pengertian jabatannya maka makin tinggi ancaman hukuman hukumannya. Dalam UU Tindak pidana korupsi yang dilihat hanya tindakan seorang pejabat atau korporasi, bukan jabatan yang lagi dipangkunya. Akibatnya yang terjadi banyak kasus korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh pejabatnya misalnya anggota Dewan, Bupati, kepala dinas dan lainnnya ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun ketika masuk dalam proses formal hukum. Kalaupun jatuh vonis maka hukumannya bisa saja satu sampai dua tahuan. Sebuah hal yang ironis karena korupsi yang dilakukan telah merugikan rakyat Indonesia. Lalu pertanyaannya apa bedanya dengan tindak pidana biasa?

Seharusnya tindak pidana korupsi ditetapkan sebagai tindak pidana yang luar biasa ( extra ordinary crime), jadi untuk itu tindak pidana korupsi hukumannya bertingkat dan maksimal tidak ada lagi minimal. Selain itu dilakukan penyitaan harta-harta koruptor, karena semua harta yang diperoleh seharusnya diduga sebagai harta perolehan karena korupsi. Namun secara tegas dalam UU tindak pidana korupsi tidak diatur tentang penyitaan harta korupsi ketika seorang telah tersangka sebagai koruptor.

Oleh Anselmus A.R. Masiku,SH

Direktur LBH Kendari/Advokat

Profile LBH Kendari

I. Latar belakang
Lembaga Bantuan Hukum Kendari yang berdiri sejak Agustus 2007 sebenar telah lama dicita-citakan untuk berdiri. Banyak hal yang membuat Lembaga Ini baru dapat didirikan pada Agustus 2007. Faktor utama baru didirikan karena sangat kurangnya resources atau Sumber daya manusia yang ingin mengelola LBH, khususnya Sarjana Hukum yang memiliki Licensi Advokat. 

Pendirian LBH Kendari sudah merupakan kebutuhan yang mendesak yang diinginkan oleh berbagai element gerakan mahasiswa, rakyat dan LSM yang ada di Sulawesi Tenggara. Maraknya kasus-kasus struktural seperti kasus Sipil Politik (penangkapan akfitis mahasiswa dan rakyat yang berjuang untuk kaum marginal) dikriminalisasikan oleh Penguasa. Kasus-kasus Ekosob yang mulai bermunculan di era tahun 1990-an awal sampai saat ini. Kasus-kasus Ekosob yang laten di Sultra yaitu investasi perkebunan dan pertambangan. Invstasi kedua jenis usaha tersebut sangat mengganggu kepentingan rakyat karena terjadi pengambilalihan/perampasan tanah rakyat tanpa melalui prosedural yang taat pada hukum. Yang lebih parah lagi karena tindakan tersebut direstui oleh pemerintah setempat dengan memberikan ijin yang disinyalir sebagian besar bernuansa KKN. 

Pembukaan perkebunan dan pertambangan tersebut ternyata memicu konflik yang antara pengusaha, pemerintah daerah dengan rakyat. Konflik ini seringkali mengorbankan rakyat. Rakyat tersingkir dari tanahnya untuk alasan pembangunan dan investasi.
Kasus-kasus yang benuansa struktural tersebut baik Sipol maupun Ekosob yang menjadi wilayah kerja LBH Kendari dan untuk kepentingan itu LBH Kendari didirikan dan telah melakukan advokasi dan pendampingan bagi rakyat yang berhadapan dengan kasus struktural dan sangat minim aksesnya untu keadilan.

II. Tujuan organisasi ;
 “Memastikan Negara memenuhi tanggungjawabnya terhadap pemenuhan HAM, keadilan dan kepastian hukum bagi rakyat.” 

III. Misi organisasi ;
Menjadi organisasi bantuan hukum yang dipercaya oleh rakyat dalam menjalankan peran menuntut tanggungjawab pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga negara terhadap HAM, rasa keadilan dan kepastian hukum.

IV. Tanggal pendirian ; 30 agustus 2007

V. Alamat ; Saat ini berkantor di Jl. Rambutan No. 8 D Kendari 
  Telp/Fax : 0401 – 392 019
  Email : lbhkendari@yahoo.co.id

VI. Badan hukum organisasi; terdaftar di akte notaris No.01 atas nama Armansyah, SH. Dalam bentuk Perkumpulan.


VII. Struktur organisasi; 
Dewan Pendiri: Chairilsyah SH, Yusuf Tallamma, Arif Rahman, Erwin Usman, Harris Palisuri, Anselmus A.R.Masiku, Ruslan A. Latif, Alaxni Pasaribu SH. 

 

Badan Pengurus :

 Direktur eksekutif : Anselmus A.R. Masiku,SH

Divisi Legal : Safarullah SH
  Alaxni Pasaribu,SH
  Baron Harahap Saleh,SH

Divisi Pendidikan dan kampanye : Marwan Dermawan, SH
  Masri Said,SH 
  Wahyuddin Ado

Administrasi & Keuangan : Andi Nurmayasari