Minggu, 22 Juni 2008

Tulisan yang dimuat di Media

Pengadilan Hak Asasi Manusia; Kasus Abepura dan Penggabungan Perkara. Dimuat di Majalah IUSTITIA edisi Mei 2004 diterbitkan oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian atau Justice And Peace Komisi Wali Gereja Indonesai (KWI).

PENGADILAN HAM KASUS ABEPURA DAN PENGGABUNGAN PERKARA

  Abepura 7 Desember 2000, sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh pihak aparat kepolisian ketika itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menyimpulkan bahwa tindakan pelanggaran HAM berat ini dilihat karena tindakan aparat kepolisian ketika itu melakukan secara sistematik serta meluas berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang yang ditujukan kepada kelompok sipil. Hal tersebut secara jelas di atur pada pasal 9 UU. No. 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
Peristiwa pelanggaran HAM berat di Abepura Papua berawal dari sebuah peristiwa penyerangan Mapolsek Abepura, pembakaran Ruko di Lingkaran Abepura dan pembunuhan Satpam di Kantor dinas Otonom Kotaraja oleh sekolompok orang. Peristiwa ini kemudian di respon oleh pihak aparat kepolisian dalam hal ini Polisi Resort Jayapura yaitu Kapolres Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing, SH dengan mengeluarkan perintah untuk pengejaran dan penyekatan, yang kemudian melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap beberapa orang. Beberapa tempat yang dilakukan pengejaran, penyekatan, penangkapan dan penyiksaan oleh aparat kepolisian yaitu Asrama Ninmin, pemukiman warga asal Kobakma Mamberamo, Asrama Mahasiswa Yapen Waropen, kediaman Masyarakat Suku Lani asal Mamberamo, Pemukiman Masyarakat asal Suku Yali, Anggruk di daerah Skyline Jayapura Selatan, dan Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga.
Dari tindakan aparat kepolisian yang melakukan penangkapan, penahananan yang sewenang-wenang dan penyiksaan terdapat 105 orang korban yang terdiri dari 9 orang perempuan dan 96 orang laki-laki. Akibat yang terburuk dalam penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dua orang meninggal yaitu Orry Doronggi dan Johni Karunggu. Selain itu Elkius Suhuniap meninggal ditempat karena ditembak oleh aparat kepolisian.

Dalam kasus pelanggaran HAM di Abepura ini Komisi Hak Asasi Manusia menetapkan dua tersangka yaitu Brigjen Polisi Drs. Johny Wainal Usman saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade Mobil Jayapura dan Kombes Polisi Drs. Sihombing, SH saat itu menjabat Kapolres Jayapura. Saat ini kasus pelanggaran HAM berat Abepura akan diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar (tanggal 7 Mei 2004). Sebuah proses persidangan pelanggaran Hak Asasi Manusia pertama kalinya digelar di Makassar, sejak Pengadilan HAM ada di Makassar. 
Gelaran pengadilan HAM di Indonesia telah terjadi kesekian kalinya. Kasus pelanggaran HAM yang pertama kali digelar yaitu Kasus Tanjung Priok dan kemudian kasus pelanggaran HAM lainnya digelar misalnya Pelanggaran HAM Timor Leste. Namun pertanyaan yang muncul apakah semua pagelaran pengadilan HAM selesai dengan Tuntas. Memang kalau ditilik penyelesaian pengadilan HAM secara hukum formal terselesaikan karena ada yang terhukum atau terpidana. Namun apakah tuntas dalam artian sesungguhnya, dimana yang bertanggung jawab atas semua kejadian pelanggaran HAM belum tersentuh. Bahkan sampai saat ini banyak kasus belum terangkat sebagai pelanggaran misalnya Kasus 27 Juli, Penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, serta berbagai kasus sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berlaku sampai saat ini belum terungkap.
Kembali pada kasus Pelanggaran HAM Abepura, aparat kepolisian sebagai terdakwa dalam pelanggaran HAM ini, mampukah dibuktikan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum kalau kedua pimpinan kepolisian di Papua yang melakukan pelanggaran HAM. Beberapa kasus telah menjadi pelajaran, ternyata pelaku yang diajukan ke Pengadilan tidak lebih dari sebuah korban konspirasi untuk memuaskan rakyat dan menjadi sogokan. Karena sampai saat ini masih banyak petinggi TNI dan Polisi yang belum tersentuh dari berbagai kasus pelanggaran HAM.
Gelaran peradilan HAM untuk kasus Abepura yang menjadikan tersangka dua petinggi kepolisian di Papua diwarnai dengan sikap pesimistis banyak pihak memang. Kekuatiran akan terjadinya peristiwa berulang bahwa peradilan HAM ini hanya akan mengorbankan orang-orang tertentu saja. Apalagi banyak kalangan mengetahui bahwa terjadi tindakan sistematik, terencana dan sewenang-wenang terhadapa masyakat sipil di Papua. Bahwa tindakan yang sistematik, terencana dan sewenang-wenang adalah sebuah kebijakan kepolisian secara institutsi, dengan alasan untuk mengamankan Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka pada Desember 2000.
Kebijakan sistematik dan terencana oleh pihak Kepolisian ini tentunya memiliki kekuatan hukum bagi aparat kepolisian untuk bertindak. Apalagi tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI dengan alasan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi doktrin aparat kepolisian dan TNI dari tindakan separatisme OPM dan lebih jauh lagi tindakan terorisme.
Tugas berat bagi Pengadilan HAM di Makassar untuk menggelar pengadilan bagi kedua petinggi Kepolisian di Papua. Tindakan ini harus berhadapan dengan kekuatan birokrasi kepolisian dan kekuatan politik yang bermain di Papua bahkan di Indonesia.

Gugatan Class Action Pada Pengadilan HAM Abepura di Makassar.
Sebuah terobosan hukum coba dilakukan oleh korban pelanggaran HAM Abepura melalui kuasa hukumnya yaitu Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura. Para korban yang berjumlah 105 orang menggugat secara bersama-sama atau gugatan class action terhadap terdakwa pelanggaran HAM yang menyebabkan kerugian materiil dan immateriil terhadap korban. Gugatan Class action sendiri diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2002.
Gugatan class action ini akan disertakan atau dilakukan penggabungan perkara dalam proses pengadilan HAM. Pertimbangan penggabungan perkara ini, karena proses peradilan HAM yang akan digelar di Pengadilan HAM Makassar sangat terkait erat dengan materi perkara dari gugatan class action. Selain itu penggabungan perkara dalam sebuah peradilan pidana diatur pula pada pasal 98 KUHA Pidana yaitu “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.
Kemudian pada pasal 99 KUHAPidana yaitu “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut “ Dan seterusnya diatur juga pada pasal 100-101 KUHPidana.
Selanjutnya penggabungan perkara ini dilakukan karena dalam pasal 10 UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM berbunyi “ Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana”
Jadi karena pengadilan HAM dalam persidangan pelanggar HAM didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, jadi secara hukum pula segala ketentuan hukum dalam beracara dalam persidangan HAM tidak bisa terlepas dari ketentuan hukum acara pidana, termasuk dasar hukum untuk melakukan penggabungan perkara. Untuk itu adalah sebuah keputusan yang bijak ketika Majelis Hakim Pengadilan HAM untuk kasus Abepura dapat menerima perkara gugatan class action korban pelanggaran HAM Berat Abepura.
Penggabungan perkara dalam Pengadilan HAM untuk kasus Abepura selain sebagai sebuah terobosan hukum, juga menjadi proses pendidikan hukum bagi masyarakat bahwa sebuah kerugian yang diakibatkan oleh sebuah keputusan hukum yang dilakukan oleh alat negara dapat dituntut oleh korban ataupun ahli waris korban.
Sebuah harapan besar memang dari rakyat Indonesia agar kasus pelanggaran HAM sejak era Orde Baru sampai sekarang dapat diusut tuntas.

Anselmus AR Masiku, SH

Penulis adalah Praktisi Hukum Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Makassar
Tinggal di Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan IV Kowilhan III No. 24


Tidak ada komentar: