Minggu, 22 Juni 2008

Tulisan yang dimuat di Media

Membangun Teladan Maria Dan Globalisasi

Dimuat pada Majalah Koinonia Keuskupan Agung Makassar Edisi Desember


Walaupun masa natal telah lewat tapi sekedar untuk mengingatkan, Natal selalu mengingatkan pada kisah pasangan dari Nazareth, Yusuf dan Maria. Maria mengalami pengalaman mengejutkan ketika malaikat Gabriel mengatakan, “engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki”. Maria tidak begitu saja memahami kabar itu. Malaikat itu menjelaskan kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus” (Lukas 1:35). Maria tanpa banyak bertanya kemudian ia menjawab “ terjadilah padaku menurut kehendakNya”.

Tugas yang dibebankan padanya oleh Malaikat Gabriel diterima Maria dengan kegembiraan dan juga tanda tanya besar dalam benaknya. Namun dengan didasari iman yang tulus pada Tuhan Maria menjalankan tugas untuk kehidupan umat manusia selanjutnya. Maria percaya pada Tuhan. Maria menghormati anugerah hidup yang berasal dari Tuhan.

Penghormatan terhadap hidup manusia atau penghormatan terhadap kemanusiaan kemudian menjadi pokok ajaran Yesus Kristus dalam bentuk ajaran cinta kasih. Dalam konteks penghargaan terhadap kemanusiaan, apakah ketulusan Maria menjalankan tugas perutusannya digunakan untuk merefleksikan penghargaan terhadap kemanusiaan. Kemudian timbul pertanyaan mendasar, apakah dalam abad ke-21 atau sering disebut era global menjadi ajang untuk merefleksikan penghargaan terhadap kemanusiaan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, memang kemudian jawaban sederhananya dikembalikan kepada perilaku terhadap umat manusia. Namun apakah semua dikembalikan kepada perilaku umat manusia. Padahal kita tahu bahwa didunia ini ada instrumen yang mengelola perilaku dan mampu mengintervensi perilaku manusia yaitu pemerintah. Dalam bentuk yang lebih sistematis yaitu Negara. Lalu coba disimak lebih jauh lagi tentang kondisi bangsa kita. Bangsa kita sampai saat ini belum bisa terbebas dari berbagai masalah. Setiap hari masalah terus bertambah tanpa ada penyelesaian yang mendasar dari pemerintah. Penyelesaian yang terlihat merupakan penyelesaian simbolik dengan tidak menyentuh akar masalah.

Gereja Katolik dalam Sidang Agung Gereja Katolik 2005 merumuskan penyebab keterpurukan bangsa ini yaitu keretakan hidup berbangsa, formalisme agama, korupsi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas/premanisme, penderitaan buruh, terpuruknya matra hidup seperti lingkungan hidup, pertanian, pendidikan, kesehatan dan kekerasan dalam hidup berbangsa. (Hidup, 12/12/2005).

SUMBER KETERPURUKAN BANGSA?

Rumusan Sidang Agung Gereja Katolik 2005 memang merupakan masalah yang setiap saat terjadi di bangsa. Setiap saat tersaji dengan gamblang dalam kehidupan sehari kita, baik melalui pemberitaan di media massa ataupun yang kita rasakan secara langsung. Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan semua itu terjadi. Keterpurukan bangsa ini memang tidak bisa lepas dari 32 tahun regim otoriter militeristik orde baru yang merusak segala sendi kehidupan rakyat. Pilihan ekonomi politik regim orde baru yaitu kapitalistik dengan ilusi ekonomi Pancasila kemudian membawa bangsa ini kearah masalah yang sangat kompleks. Pilihan ekonomi kapitalis membuat Indonesia harus masuk dalam sebuah dunia ekonomi yang disebut neoliberalisme yang diwujudkan dengan istilah Globalisasi. Dalam era Globalisasi menurut Gereja Katolik dalam rumusan Habitus Baru ada tiga pilar utama dan penting dalam di bangsa ini yaitu Pengusaha, Penguasa dan Civil Society. Sayang bahwa dalam Habitus Baru tersebut Gereja Katolik tidak secara tegas membuat negasi terhadap Globalisasi (Neoliberalisme). Memang disebutkan bahwa Globalisasi mempunyai dampak negatif terhadap umat manusia, namun ketidaktegasan Gereja akan membuat ambigu umat. Dengan begitu globalisasi bukanlah sebuah hal yang perlu diwaspadai. Apalagi masih banyak pemahaman baik dikalangan Imam ataupun umat menyebutkan Globalisasi hanya melihat dari dampak saja, misalnya teknologi, konsumtifisme dan lain-lain. Tetapi tidak secara substansi disebutkan dampak Globalisasi dari sudut pandang yang lebih komprehensif dan mendasarnya misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya bangsa yang akan hilang jati dirinya.
Globalisasi dalam bentuk neoliberlisme atau perdagangan bebas dalam banyak hal tidak mampu memberikan solusi bagi rakyat Indonesia. Indikasi tersebut dapat terlihat karena ;
1. Anti terhadap keadilan
Pilihan ekonomi kapitalistik pemerintah Indonesia, berdampak pada ketidakadilan penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Di Indonesia ketidakadilan tersebut sangat nyata terlihat dari sikap pemerintah yang hanya berpihak pada pemilik modal asing. Bentuk keberpihakannya lebih mencabut subsidi BBM untuk kepentingan pemilik modal ketimbang untuk rakyatnya,lebih memilih menambah hutang ketimbang menolak hutang, memilih kebijakan investasi pihak asing ketimbang menguatkan industri nasional, menjual aset atau perusahaan asing ketimbang diberikan kepada rakyat. Tindakan tersebut dilakukan dengan logika ekonomi kapitilistik yang memang lebih berorientasi pada akumulasi modal pada beberapa orang saja. Dalam pemaknaan global, ketidakadilan tersebut dapat juga dilihat dari tingkat kesejahteraan negara-negara maju jauh lebih baik ketimbang negara-negara berkembang, bahkan dalam perjalanannya negara-negara maju malah melakukan penghisapan kekayaan alam untuk kepentingan negara mereka. 

2. Meminimkan kesejahteraan sosial
Kampanye globalisasi adalah untuk kesejahteraan umat manusia diseluruh muka bumi. Kesejahteraan tidak hanya menjadi milik negara-negara maju, tetapi juga milik negara berkembang atau terbelakang. Memang kesejahteraan meningkat, tetapi peningkatan kesejahteraan hanya berlaku bagi kelas masyarakat yang memiliki akses ekonomi dan kekuasaan yang besar. Kalau akses rakyat terhadap ekonomi dan kekuasaan minim maka tentunya bukan kesejahteraan yang didapatkan tetapi keterpurukan dan pemiskinan.
Ukuran yang paling nyata dari meminimkan kesejahteraan sosial, pemerintah atau penguasa dalam bidang ketenagakerjaan sangat sedikit aturan yang memihak pada buruh. Kalaupun ada aturan yang berpihak pada buruh maka sangatlah sulit untuk dipenuhi. Misalnya masalah hak-hak normatif saja buruh sangat sulit untuk mendapatkannya apalagi hak-hak lebih politis. Contoh paling anyar saat rencana kenaikan upah minimum dari tahun ke tahun akan didahului dengan aksi demonstrasi buruh agar upah minimum dapat meningkatkan kesejahteraan. Bahkan ketika pemerintah akan merevisi UU No 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, kembali gelombang besar demonstrasi buruh menolaknya.
Petani sebagai kelas masyarakat mayoritas di Indonesia sampai saat ini belum memperoleh kesejahteraannya. Lahan pertanian yang seharusnya diperuntukkan kepada petani ternyata lebih diperuntukkan kepada pengusaha atau pemilik modal besar untuk membuka perkebunan. Akibatnya petani hanya bekerja diatas tanahnya sendiri. Kondisi ini hampir sama dengan sistem kultur stelsel (sistem tanam paksa) yang diterapkan oleh Kolonial Belanda. Menyempitnya lahan kelola petani ternyata diperparah lagi dengan harga pupuk yang makin mahal, tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga pangan utamanya beras/gabah. Apalagi BULOG membuat kebijakan import beras, sebuah tindakan ironi bagi Indonesia yang merupakan negara agraris. Penguasa/pemerintah tidak berusaha meningkatkan kesejahteraan petani misalnya dengan mengembangkan teknologi pertanian yang murah dan membuat kebijakan distribusi hasil pangan yang berpihak petani. 
Keluarnya Pepres No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum lebih memperparah kondisi agraria di Indonesia. Dalam aturan ini pemerintah memiliki kekuasaan penuh atas tanah. Dengan alasan kepentingan umum setiap orang mendiami tanah akan dapat digusur. Kondisi tersebut dapat kita lihat dihampir seluruh Indonesia, Pemerintah dengan Satuan Polisi Pamongpraja seringkali melakukan penggusuran. Penggusuran yang dilakukan sebuah tindakan ironi ditengah masyarakat yang terhimpit berbagai kesulitan hidup dan kesulitan ekonomi.

3. Ketidakadilan terhadap lingkungan hidup dan pertanian.
Globalisasi menuntut eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Tuntutan ini ternyata berdampak pada ketidakadilan terhadap lingkungan hidup. Ketidakadilan terhadap lingkungan hidup dapat terlihat dengan meningkatnya polusi hampir berbagai wilayah Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri untuk meningkatkan produktifitas sebuah bangsa maka peningkatan industri harus digalakkan. Namun sayang kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produktifitas bangsa tidak dibarengi dengan pengelolaan lingkungan yang baik pula. Kasus-kasus penebangan hutan liar atau ilegal logging yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha kayu menunjukkan betapa eksploitasi alam atau hutan hanyak diperuntukkan untuk keuntungan segelintir orang. Sudah pasti ilegal logging akan merusak lingkungan dan merupakan penyebab utama banjir.
Dalam hal pertanian, revolusi hijau yang dimulai sekitar tahun 1970an merupakan awal dari keterpurukan petani di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia dan penggunaan bibit padi yang mengejar waktu tanam dan panen ternyata berdampak buruk pada hilangnya bibit lokal yang tahan akan hama dan hilangnya kearifan lokal yang menghargai proses penanaman padi sebagai bagian dari alam. Memang bangsa kita tidak ingin kembali kezaman tradisional dalam hal pengelolaan pertanian. Rakyat membutuhkan pangan dengan cepat, tetapi akibat dari revolusi hijau ternyata malah menurunkan produktifitas tanah. 
Penggunaan pupuk kimia selama puluhan tahun ternyata menurunkan kadar kesuburan tanah. Ibarat Pecandu Narkoba, tanaman tidak akan atau sulit tumbuh jika tidak menggunakan pupuk kimia.

LALU APA YANG HARUS DIBUAT DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI (NEOLIBERALISME)?
Gerakan terhadap anti Globalisasi telah dilakukan oleh bebagai masyarakat didunia ini. Berbagai forum dan pertemuan untuk menolak globalisasi telah dilakukan diberbagai negara. Di Indonesia gerakan menolak globalisasi juga belangsung. 
Lalu bagaimana dengan Gereja Katolik atau Keuskupan Agung Makassar ?
Gereja dalam konteks ini kita tidak diajak untuk menerima atau menolak globalisasi, namun ada beberapa hal yang penting untuk dikampanyekan atau disebarluaskan, ditengah bangsa kita yang dirundung berbagai masalah. Hasil Sidang Agung Gereja Katolik cukup representatif tetapi kemudian sebaiknya dibuat dalam hal yang lebih konkrit.
Keuskupan Agung Makassar sebagai pintu Kawasan Timur Indonesia dan mercu suar perpolitikan dalam menghadapi globalisasi sebaiknya melakukan beberapa hal yang memang menjadi sebuah tindakan konkrit. Beberapa hal yang penting dilakukan ;

Pertama ; pro aktif dalam berbagai kondisi sosial yang menjadi koncern Gereja Katolik. Misalnya keterlibatan aktif dalam masalah perburuhan, masalah petani, kampanye anti korupsi dan anti kekerasan serta anti diskriminasi.

Kedua ; membangun jaringan tidak hanya dalam makna dialog agama, tetapi lebih luas dari itu jaringan dan komunikasi yang lebih bermakna perjuangan untuk pembelaan kaum tertindas.

Semoga teladan Maria tidak hanya menjadi tumpukan tulisan, tetapi sebuah aksi nyata dalam kehidupan menggeraja dan bernegara serta bisa menjadi awal perubahan bangsa Indonesia yang kita cintai bersama.

Penulis 
Anselmus AR Masiku,SH Praktisi Hukum 
Bertempat tinggal di Jl. Perintis Kemerdekaan IV Kowilhan III No. 24

Tulisan yang dimuat di Media

Pengadilan Hak Asasi Manusia; Kasus Abepura dan Penggabungan Perkara. Dimuat di Majalah IUSTITIA edisi Mei 2004 diterbitkan oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian atau Justice And Peace Komisi Wali Gereja Indonesai (KWI).

PENGADILAN HAM KASUS ABEPURA DAN PENGGABUNGAN PERKARA

  Abepura 7 Desember 2000, sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh pihak aparat kepolisian ketika itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menyimpulkan bahwa tindakan pelanggaran HAM berat ini dilihat karena tindakan aparat kepolisian ketika itu melakukan secara sistematik serta meluas berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang yang ditujukan kepada kelompok sipil. Hal tersebut secara jelas di atur pada pasal 9 UU. No. 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
Peristiwa pelanggaran HAM berat di Abepura Papua berawal dari sebuah peristiwa penyerangan Mapolsek Abepura, pembakaran Ruko di Lingkaran Abepura dan pembunuhan Satpam di Kantor dinas Otonom Kotaraja oleh sekolompok orang. Peristiwa ini kemudian di respon oleh pihak aparat kepolisian dalam hal ini Polisi Resort Jayapura yaitu Kapolres Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing, SH dengan mengeluarkan perintah untuk pengejaran dan penyekatan, yang kemudian melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap beberapa orang. Beberapa tempat yang dilakukan pengejaran, penyekatan, penangkapan dan penyiksaan oleh aparat kepolisian yaitu Asrama Ninmin, pemukiman warga asal Kobakma Mamberamo, Asrama Mahasiswa Yapen Waropen, kediaman Masyarakat Suku Lani asal Mamberamo, Pemukiman Masyarakat asal Suku Yali, Anggruk di daerah Skyline Jayapura Selatan, dan Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga.
Dari tindakan aparat kepolisian yang melakukan penangkapan, penahananan yang sewenang-wenang dan penyiksaan terdapat 105 orang korban yang terdiri dari 9 orang perempuan dan 96 orang laki-laki. Akibat yang terburuk dalam penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dua orang meninggal yaitu Orry Doronggi dan Johni Karunggu. Selain itu Elkius Suhuniap meninggal ditempat karena ditembak oleh aparat kepolisian.

Dalam kasus pelanggaran HAM di Abepura ini Komisi Hak Asasi Manusia menetapkan dua tersangka yaitu Brigjen Polisi Drs. Johny Wainal Usman saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade Mobil Jayapura dan Kombes Polisi Drs. Sihombing, SH saat itu menjabat Kapolres Jayapura. Saat ini kasus pelanggaran HAM berat Abepura akan diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar (tanggal 7 Mei 2004). Sebuah proses persidangan pelanggaran Hak Asasi Manusia pertama kalinya digelar di Makassar, sejak Pengadilan HAM ada di Makassar. 
Gelaran pengadilan HAM di Indonesia telah terjadi kesekian kalinya. Kasus pelanggaran HAM yang pertama kali digelar yaitu Kasus Tanjung Priok dan kemudian kasus pelanggaran HAM lainnya digelar misalnya Pelanggaran HAM Timor Leste. Namun pertanyaan yang muncul apakah semua pagelaran pengadilan HAM selesai dengan Tuntas. Memang kalau ditilik penyelesaian pengadilan HAM secara hukum formal terselesaikan karena ada yang terhukum atau terpidana. Namun apakah tuntas dalam artian sesungguhnya, dimana yang bertanggung jawab atas semua kejadian pelanggaran HAM belum tersentuh. Bahkan sampai saat ini banyak kasus belum terangkat sebagai pelanggaran misalnya Kasus 27 Juli, Penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, serta berbagai kasus sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berlaku sampai saat ini belum terungkap.
Kembali pada kasus Pelanggaran HAM Abepura, aparat kepolisian sebagai terdakwa dalam pelanggaran HAM ini, mampukah dibuktikan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum kalau kedua pimpinan kepolisian di Papua yang melakukan pelanggaran HAM. Beberapa kasus telah menjadi pelajaran, ternyata pelaku yang diajukan ke Pengadilan tidak lebih dari sebuah korban konspirasi untuk memuaskan rakyat dan menjadi sogokan. Karena sampai saat ini masih banyak petinggi TNI dan Polisi yang belum tersentuh dari berbagai kasus pelanggaran HAM.
Gelaran peradilan HAM untuk kasus Abepura yang menjadikan tersangka dua petinggi kepolisian di Papua diwarnai dengan sikap pesimistis banyak pihak memang. Kekuatiran akan terjadinya peristiwa berulang bahwa peradilan HAM ini hanya akan mengorbankan orang-orang tertentu saja. Apalagi banyak kalangan mengetahui bahwa terjadi tindakan sistematik, terencana dan sewenang-wenang terhadapa masyakat sipil di Papua. Bahwa tindakan yang sistematik, terencana dan sewenang-wenang adalah sebuah kebijakan kepolisian secara institutsi, dengan alasan untuk mengamankan Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka pada Desember 2000.
Kebijakan sistematik dan terencana oleh pihak Kepolisian ini tentunya memiliki kekuatan hukum bagi aparat kepolisian untuk bertindak. Apalagi tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI dengan alasan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi doktrin aparat kepolisian dan TNI dari tindakan separatisme OPM dan lebih jauh lagi tindakan terorisme.
Tugas berat bagi Pengadilan HAM di Makassar untuk menggelar pengadilan bagi kedua petinggi Kepolisian di Papua. Tindakan ini harus berhadapan dengan kekuatan birokrasi kepolisian dan kekuatan politik yang bermain di Papua bahkan di Indonesia.

Gugatan Class Action Pada Pengadilan HAM Abepura di Makassar.
Sebuah terobosan hukum coba dilakukan oleh korban pelanggaran HAM Abepura melalui kuasa hukumnya yaitu Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura. Para korban yang berjumlah 105 orang menggugat secara bersama-sama atau gugatan class action terhadap terdakwa pelanggaran HAM yang menyebabkan kerugian materiil dan immateriil terhadap korban. Gugatan Class action sendiri diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2002.
Gugatan class action ini akan disertakan atau dilakukan penggabungan perkara dalam proses pengadilan HAM. Pertimbangan penggabungan perkara ini, karena proses peradilan HAM yang akan digelar di Pengadilan HAM Makassar sangat terkait erat dengan materi perkara dari gugatan class action. Selain itu penggabungan perkara dalam sebuah peradilan pidana diatur pula pada pasal 98 KUHA Pidana yaitu “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.
Kemudian pada pasal 99 KUHAPidana yaitu “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut “ Dan seterusnya diatur juga pada pasal 100-101 KUHPidana.
Selanjutnya penggabungan perkara ini dilakukan karena dalam pasal 10 UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM berbunyi “ Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana”
Jadi karena pengadilan HAM dalam persidangan pelanggar HAM didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, jadi secara hukum pula segala ketentuan hukum dalam beracara dalam persidangan HAM tidak bisa terlepas dari ketentuan hukum acara pidana, termasuk dasar hukum untuk melakukan penggabungan perkara. Untuk itu adalah sebuah keputusan yang bijak ketika Majelis Hakim Pengadilan HAM untuk kasus Abepura dapat menerima perkara gugatan class action korban pelanggaran HAM Berat Abepura.
Penggabungan perkara dalam Pengadilan HAM untuk kasus Abepura selain sebagai sebuah terobosan hukum, juga menjadi proses pendidikan hukum bagi masyarakat bahwa sebuah kerugian yang diakibatkan oleh sebuah keputusan hukum yang dilakukan oleh alat negara dapat dituntut oleh korban ataupun ahli waris korban.
Sebuah harapan besar memang dari rakyat Indonesia agar kasus pelanggaran HAM sejak era Orde Baru sampai sekarang dapat diusut tuntas.

Anselmus AR Masiku, SH

Penulis adalah Praktisi Hukum Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Makassar
Tinggal di Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan IV Kowilhan III No. 24


Selasa, 17 Juni 2008

Tulisan yang dimuat dimedia

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Bukan Untuk Rakyat. Dimuat di Majalah INSPIRASI Media Informasi dan Komunikasi Edisi Agustus 2005, terbitkan oleh Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT).

UU TINDAK PIDANA KORUPSI BUKAN UNTUK RAKYAT


Regim orde baru telah mewariskan kemiskinan, kebodohan bagi rakyat. Secara sistematik Orde baru juga telah mewariskan sistem politik yang tidak demokratis, sistem ekonomi yang memiskin rakyat dan sistem hukum yang korup dan penuh dengan kecurangan yang dilakukan oleh Penegak hukum. Warisan orde baru yang kemudian menjadi jargon bagi penerus kekuasaannya untuk melegitimasi kekuasaannya pada rakyat adalah Pemberantasan Korupsi.

Tumbangnya icon regim orde baru ternyata tidak membuat sistem yang dibangunnya ikut tumbang. Hal tersebut terjadi karena mesin politik yang mendukungnya yaitu Partai Golkar dan Tentara masih bercokol dalam sistem politik, dan ekonomi Indonesia. Namun untuk mengkamuflase tindakan politik yang salah pada masa lalu, kemudian mereka keluar dari partai golkar atau menjadi tentara yang reformis dengan cara membentuk partai-partai baru atau masuk ke partai lama yang pada dasarnya karakter orde barunya tidak dapat hilang.

Salah satu karakter orde baru yaitu karakter Korup atau tindakan korupsi. Pada masa orde baru korupsi terjadi sebagian besar di level atas. Dan sebagian besar lagi terjadi pusat kekuasaan pemerintahan. Dengan tumbangnya Soeharto maka diharapkan korupsi bisa diberantas, namun ternyata harapan tersebut tidak menjadi kenyataan. Korupsi sampai saat ini terus merajalela, bahkan sampai ke aparat pemerintahan yang terkecil. Bahkan lebih parah lagi lembaga-lembaga agama juga terkontaminasi tindakan korupsi. 

Untuk mengelabui tindakan korupsi orde baru, kemudian regim orde baru mengeluarkan UU No. 7 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dikeluarkannya UU ini tidak lebih untuk menjawab tuntutan Negara-negara pemberi Hutang. Apalagi pada masa tahun 1970 an regim orde baru sangat gencar-gencarnya melakukan pembangunan dengan pembiayaan dari pinjaman dari lembaga donor seperti CGI, IMF,Bank Dunia. Namun karakter korupsi dari regim orde baru berupa tindakan korupsi tetap berjalan sampai tumbangnya tumbang orde baru. Namun warisan korupsi terus berlangsung.

Pasca tumbangnya regim orde baru, kemudian harapan untuk pemberantasan korupsi lebih terbuka. Hal tersebut dibuktikan dengan merevisi UU No. 7 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian direvisi atau diubah menjadi UU No. 20 tahun 2001. UU tentang pemberantasan Korupsi secara substansi diharapkan mampu melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Memang pemberantasan korupsi dilakukan apalagi pada saat ini, Pembarantasan Korupsi menjadi program SBY – KALLA. Namun yang menjadi pertanyaan karena pemberantasan korupsi hanya dilakukan pada pejabat-pejabat pada level-level tertentu, atau pada kelompok yang secara politik dan ekonomi sangatlah lemah dan pemain baru di Indonesia. Misalnya saja kasus yang paling anyar adalah pengungkapan kasus tindak pidana korupsi anggota Dewan di tingkat Kabupaten, Gubernur Aceh,Gubernur Kaltim dan KPU. UU pemberantasan anti korupsi dan pergantian 4 kali regim pasca tumbangnya orde baru, belum mampu menyentuh mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya atau dengan kata lain regim berganti koruptor kelas kakap tetap tidak tersentuh. 

Ini membuktikan bahwa UU pembarantasan korupsi yang dihasilkan oleh Regim orde baru dan pasca regim orde baru ternyata hanya berlaku bagi kelompok atau perorangan yang lemah secara politik dan ekonomi dalam pertarungan merebut kekuasaan di negeri ini. UU pemberantasan korupsi secara substansi tidak berpihak pada rakyat. Ancaman hukuman tindak pidana korupsi minimal satu tahun. Ancaman hukuman tersebut sebenarnya hanya untuk tindak pidana ringan atau tipiring. Memang pada pasal 2 ayat UU No. 31 tahun 1999 ada ancaman hukuman mati tetapi masih dimungkinkan karena dalam pasal tersebut ada pilihan ancaman lain. Artinya secara tegas substansi dari pasal-pasal UU tindak pidana korupsi masih memberikan peluang untuk hukuman minimal.

Ini jelas menggambarkan bahwa UU Tindak pidana korupsi secara substansi tidak memiliki sensifitas untuk memberantas korupsi sampai keakar-akarnya. Ancaman dalam Hukum Pidana tidak memberikan peluang untuk hukuman minimal, artinya Ancaman dalam KUHPidana lebih tegas.  

Untuk lebih jelas pengertian korupsi dalam UU Tindak Pidana Korupsi yaitu ;
• Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 
• Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Dalam pengertian ini merugikan negara berarti merugikan rakyat. Secara jelas bahwa yang mampu melakukan korupsi adalah orang per orang atau korporasi yang menguasai atau setidak-tidaknya memiliki akses terhadap keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini pejabat negara atau pengusaha yang dekat dengan penguasa. Nah disini secara jelas mereka diberi akses untuk mengelola keuangan dan perekonomian rakyat. Jika kemudian terjadi tindakan korupsi maka secara jelas tindakan tersebut merugikan negara dan merugikan rakyat secara substansi. 
Orang per orang atau pejabat jelas diberikan fasilitas yang berlebih. Gaji, akomodasi tinggal kendaraan dan lain-lain yang memudahkan tugas-tugasnya. Tentunya dengan fasilitas yang melebihi masyarakat lainnya tentunya diharapkan tidak terjadi lagi tindak pidana korupsi. Tetapi ternyata harapan tersebut tinggal harapan belaka,malah makin besar akses keuangan dan perekonomian seorang pejabat maka makin tinggi pula tingkat korupsi. Jadi untuk hal tersebut tidaklah perlu diberikan ancaman hukuman minimal dan pilihan ancaman hukuman dalam UU Pidana korupsi. 
Seharusnya dalam ancaman hukuman untuk tindak pidana korupsi yang diberikan sesuai dengan jabatan dan tindakannya. Artinya makin besar akses perekonomian dan keuangan negara dalam pengertian jabatannya maka makin tinggi ancaman hukuman hukumannya. Dalam UU Tindak pidana korupsi yang dilihat hanya tindakan seorang pejabat atau korporasi, bukan jabatan yang lagi dipangkunya. Akibatnya yang terjadi banyak kasus korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh pejabatnya misalnya anggota Dewan, Bupati, kepala dinas dan lainnnya ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun ketika masuk dalam proses formal hukum. Kalaupun jatuh vonis maka hukumannya bisa saja satu sampai dua tahuan. Sebuah hal yang ironis karena korupsi yang dilakukan telah merugikan rakyat Indonesia. Lalu pertanyaannya apa bedanya dengan tindak pidana biasa?

Seharusnya tindak pidana korupsi ditetapkan sebagai tindak pidana yang luar biasa ( extra ordinary crime), jadi untuk itu tindak pidana korupsi hukumannya bertingkat dan maksimal tidak ada lagi minimal. Selain itu dilakukan penyitaan harta-harta koruptor, karena semua harta yang diperoleh seharusnya diduga sebagai harta perolehan karena korupsi. Namun secara tegas dalam UU tindak pidana korupsi tidak diatur tentang penyitaan harta korupsi ketika seorang telah tersangka sebagai koruptor.

Oleh Anselmus A.R. Masiku,SH

Direktur LBH Kendari/Advokat

Profile LBH Kendari

I. Latar belakang
Lembaga Bantuan Hukum Kendari yang berdiri sejak Agustus 2007 sebenar telah lama dicita-citakan untuk berdiri. Banyak hal yang membuat Lembaga Ini baru dapat didirikan pada Agustus 2007. Faktor utama baru didirikan karena sangat kurangnya resources atau Sumber daya manusia yang ingin mengelola LBH, khususnya Sarjana Hukum yang memiliki Licensi Advokat. 

Pendirian LBH Kendari sudah merupakan kebutuhan yang mendesak yang diinginkan oleh berbagai element gerakan mahasiswa, rakyat dan LSM yang ada di Sulawesi Tenggara. Maraknya kasus-kasus struktural seperti kasus Sipil Politik (penangkapan akfitis mahasiswa dan rakyat yang berjuang untuk kaum marginal) dikriminalisasikan oleh Penguasa. Kasus-kasus Ekosob yang mulai bermunculan di era tahun 1990-an awal sampai saat ini. Kasus-kasus Ekosob yang laten di Sultra yaitu investasi perkebunan dan pertambangan. Invstasi kedua jenis usaha tersebut sangat mengganggu kepentingan rakyat karena terjadi pengambilalihan/perampasan tanah rakyat tanpa melalui prosedural yang taat pada hukum. Yang lebih parah lagi karena tindakan tersebut direstui oleh pemerintah setempat dengan memberikan ijin yang disinyalir sebagian besar bernuansa KKN. 

Pembukaan perkebunan dan pertambangan tersebut ternyata memicu konflik yang antara pengusaha, pemerintah daerah dengan rakyat. Konflik ini seringkali mengorbankan rakyat. Rakyat tersingkir dari tanahnya untuk alasan pembangunan dan investasi.
Kasus-kasus yang benuansa struktural tersebut baik Sipol maupun Ekosob yang menjadi wilayah kerja LBH Kendari dan untuk kepentingan itu LBH Kendari didirikan dan telah melakukan advokasi dan pendampingan bagi rakyat yang berhadapan dengan kasus struktural dan sangat minim aksesnya untu keadilan.

II. Tujuan organisasi ;
 “Memastikan Negara memenuhi tanggungjawabnya terhadap pemenuhan HAM, keadilan dan kepastian hukum bagi rakyat.” 

III. Misi organisasi ;
Menjadi organisasi bantuan hukum yang dipercaya oleh rakyat dalam menjalankan peran menuntut tanggungjawab pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga negara terhadap HAM, rasa keadilan dan kepastian hukum.

IV. Tanggal pendirian ; 30 agustus 2007

V. Alamat ; Saat ini berkantor di Jl. Rambutan No. 8 D Kendari 
  Telp/Fax : 0401 – 392 019
  Email : lbhkendari@yahoo.co.id

VI. Badan hukum organisasi; terdaftar di akte notaris No.01 atas nama Armansyah, SH. Dalam bentuk Perkumpulan.


VII. Struktur organisasi; 
Dewan Pendiri: Chairilsyah SH, Yusuf Tallamma, Arif Rahman, Erwin Usman, Harris Palisuri, Anselmus A.R.Masiku, Ruslan A. Latif, Alaxni Pasaribu SH. 

 

Badan Pengurus :

 Direktur eksekutif : Anselmus A.R. Masiku,SH

Divisi Legal : Safarullah SH
  Alaxni Pasaribu,SH
  Baron Harahap Saleh,SH

Divisi Pendidikan dan kampanye : Marwan Dermawan, SH
  Masri Said,SH 
  Wahyuddin Ado

Administrasi & Keuangan : Andi Nurmayasari